Selama dua pekan, Rizal Mustari praktis cuma mengurung diri di kamarnya. Pelajar kelas II sebuah SMP di kawasan Bendungan Hilir itu tak mau lagi masuk sekolah sejak ayahnya berurusan dengan aparat hukum, pertengahan Januari lalu."Ia juga tak mau berpakaian maupun menyentuh makanan karena mengira semua dibeli dari uang hasil korupsi ayahnya," kata sang nenek, Nurhaslinda, 68 tahun, saat berbincang dengan Tempo di Rumah Tahanan Salemba, Selasa pekan lalu.
Pagi itu, Mak Nur--begitu ia disapa--sengaja datang untuk mendampingi Rizal membesuk ayahnya, yang pernah bekerja di sebuah lembaga tinggi negara. Butuh berhari-hari bagi keluarganya untuk meyakinkan Rizal bahwa ayahnya tak sepenuhnya berbuat pidana. Kalaupun harus menginap di tahanan, itu adalah sebuah proses yang terpaksa harus dilalui.
Lagi pula, seburuk apa pun kondisi orang tua, anak tetap berkewajiban menghormatinya. "Setelah guruguru datang menasihati dan beberapa teman sekolahnya yang suka meledek meminta maaf, barulah si Rizal berhenti ngambek. Dia sudah berani lagi nonton berita-berita di televisi," kata Mak Nur.
Selama hampir dua bulan ayahnya menjalani penahanan, sudah dua kali Rizal datang membesuk. Pekan depan, Rizal berniat mengajak teman-temannya untuk juga meminta maaf kepada ayahnya karena telah mencapnya koruptor. "Satu-dua temannya sudah bilang mau datang. Semoga saja benar adanya,"kata Mak Nur.
Mendapati kenyataan orang tua mesti ditahan atau dipenjara, menurut psikolog Kasandra Putranto, pasti akan menimbulkan trauma bagi anak. Namun besar-kecilnya trauma itu dipengaruhi beberapa faktor, seperti usia dan kemampuan kognitif anak, atau kualitas pribadinya.
"Anak yang lebih kecil punya potensi trauma lebih besar dibanding yang usianya lebih besar,"kata Kasandra.
Tetapi khusus anak di bawah usia lima tahun memiliki kemungkinan trauma yang lebih kecil karena belum paham. Anak yang lebih cerdas dan emosinya terkontrol, menurut Kasandra, dapat meminimalkan risiko traumanya.
Faktor lain adalah pemberitaan media massa yang gencar dengan aneka sudut pandang, yang akan membuat trauma lebih besar pada anak. "Karena efeknya si anak dan anggota keluarga besarnya akan dibenci dan menjadi bahan omongan ma syarakat,"kata psikolog yang berpraktek di Kramat Pela, Jakarta Selatan, ini.
Faktor keempat yang mempengaruhi psikologi anak yang orang tuanya dipenjara adalah sikap keluarga. Jika, misalnya, ibu di rumah kerap menangis histeris, anak pun akan ketularan trauma. Belum lagi jika anggota keluarga besar, seperti paman dan bibi, turut menggunjingkannya.
Kasandra tidak merekomendasikan anak turut membesuk ayah atau ibu yang tengah menjalani tahanan atau dipenjara. Kecuali jika kondisi emosi si anak sudah stabil dan mau menerima kenyataan. Di penjara, ia melanjutkan, anak akan melihat bagaimana sikap penjaga terhadap ayah atau ibunya sebagai seorang tahanan dalam kondisi yang direndahkan.
Dalam kondisi ini, anak sangat mungkin akan melihat "jahat"-nya petugas penjara. Namun Kasandra juga mengingatkan orang tua agar tidak memanfaatkan kehadiran anak di depan publik secara sengaja untuk menaikkan simpati. "Itu justru akan menambah trauma pada anak,"kata dia.
Trauma pada anak ketika orang tuanya dipenjara, kata Kasandra, dapat diminimalkan dengan pendampingan psikolog secara cepat dan tepat."Jika tidak, trauma anak itu akan stay dan malah semakin besar,"ujarnya.
{ 0 comments... read them below or add one }
Posting Komentar